Dermotimes.Menjelang pemilihan serentak tahun 2024 mendatang di negara Indonesia akan kembali melaksanakan pemilu sebagai bentuk pemerintahan yang demokrasi, oleh karena itu pemerintah hendaknya mampu menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis sebagai pilar penting sistem demokrasi modern yang diterapkan oleh Indonesia. Adapun dasar konstitusional diselenggarakannya pemilu terdapat pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demokrasi memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi warga negara untuk ikut dipilih dan terjun dalam dunia perpolitikan tanpa memandang bahasa, suku, ras, agama, maupun gender. Hal ini pada dasarnya dapat dikaitkan pula dengan keikutsertaan perempuan dalam pencalonan legislatif guna memperjuangkan haknya secara kolektif tanpa adanya diskriminasi. Oleh karena itu pemerintah perlu memberikan perhatian pula pada pentingnya representasi perempuan dalam ranah politik.
Kebijakan affirmative action dan zipper system yang telah diterapkan pemerintah adalah salah satu cara pemerintah guna meningkatkan representasi perempuan dalam perpolitikan nasional secara kuantitatif. Agar peningkatan secara kuantitatif tersebut kontribusinya tidak menjadi sia-sia, maka setiap peningkatan secara kuantitatif harus pula dibarengi dengan peningkatan secara kualitas yang berarti peningkatan kualitas perempuan sebagai calon anggota legislatif juga penting untuk diperhatikan dikarenakan menurut Nuri Soeseno dikutip oleh Sali Susiana menyatakan bahwasanya sebagai konsekuensi kebijakan kuota affirmative action sebesar 30%, maka dapat dikatakan representasi perempuan dalam ranah politik masih bersifat deskriptif. Sehingga apabila kebijakan kuota affirmative action sebesar 30% untuk perempuan membawakan hasil dan kuota 30 % tersebut dapat dicapai maka akan ada harapan bahwa representasi yang tadinya bersifat deskriptif berubah menjadi representasi yang bersifat substantif. Dari pemaparan diatas, penulis menganggap bahwa perlu adanya suatu kebijakan yang penting terkait program pendidikan politik baru yang jelas dan terarah yang pastinya akan ditujukan kepada perempuan dan akan di implementasikan secara langsung khususnya perempuan yang berminat dan akan terjun ke ranah politik guna meningkatkan daya saing mereka ketika akan memperebutkan kursi di parlemen. Sehingga melalui program tersebut diharapkan dapat memaksimalkan keterwakilan perempuan di dalam kekuasaan legislatif di Indonesia, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pada dasarnya Representasi perempuan di parlemen tidak dapat terlepas dari peran Perempuan dalam ranah publik. Pembahasan tentang peran perempuan dalam ranah publik masih menjadi perbincangan yang menarik, apalagi jika dipertemukan dengan pembahasan terkait peran perempuan dalam ranah domestik. Dikarenakan banyaknya permasalahan sosial yang belum berimbang antara laki-laki dan perempuan dimana sejak dahulu masyarakat masih beranggapan bahwa perempuan masih berada di bawah laki-laki dan hidup sebagai pelengkap, hal ini mengakibatkan peran perempuan di ranah publik mengalami berbagai rintangan, salah satunya apabila kita melihat dari aspek representasi perempuan di parlemen. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa guna meningkatkan kuantitas serta memenuhi kuota representasi perempuan sebanyak 30% di parlemen, tentunya akan dibutuhkan pula sebuah komitmen dari partai politik sebagai wadah untuk membentuk kaderisasi yang nantinya akan duduk di parlemen. Seperti penulis mengutarakan sebelumnya bahwa guna meningkatkan kuantitas ini tentunya dibutuhkan perbaikan serta perubahan dari segi kualitas calon legislatif atau kader di partai politik khususnya kader perempuan, karena setelah penulis telaah bahwa kuatnya cengkeraman culture patriarki menyebabkan perempuan lebih dominan berada pada posisi marginal dan subordinat dalam budaya kerja maskulin, sebab posisi ini dibentuk oleh ideology patriarki yang mentakdirkan perempuan sebagai mahluk lemah, dimana pendapat tersebut telah menjadi ideologi umum yang bukan cuman berimpact ke masyarakat awam tetapi juga menjadi cara perspektif negara dalam melihat dan menempatkan perempuan. Sehingga masyarakat telah membentuk pandangan tersendiri akan ketidakmampuan perempuan di ranah publik, maka akan terjadi sebuah keniscayaan apabila semua ingin mengubah perspektif tersebut tanpa berusaha membuktikan melalui perbaikan serta peningkatan kualitas dalam internal perempuan itu sendiri.
Tabel data jumlah keterlibatan perempuan di parlemen
Provinsi
|
Keterlibatan Perempuan di Parlemen (Persen) | |
2020 | 2021 | |
JAWA TIMUR | 18,33 | 17,50 |
JAWA BARAT | 20,83 | 20,83 |
JAWA TENGAH | 18,80 | 18,33 |
(https://www.bps.go.id/indicator/40/464/1/keterlibatan-perempuan-di-parlemen.html)
Berdasarkan data valid dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa partisipan di wilayah pulau Jawa belum terdapat peningkatan bahkan di wilayah Jawa Timur sendiri keterlibatan perempuan di parlemen semakin menurun, maka dari itu harus diadakannya berbagai upaya. Dalam upaya revitalisasi atau meningkatkan keterwakilan perempuan dalam pemilu legislatif kedepannya bukanlah perkara mudah terlebih lagi terdapat sejumlah problem serta tantangan yang harus dilewati oleh calon legislatif perempuan dalam kontestasi elektoral pemilihan legislatif pada periode-periode berikutnya. Berangkat dari fakta yang berdasarkan pada data, terkait dengan belum terlaksananya secara maksimal representasi perempuan pada pemilihan legislatif. Berkaca pada gigihnya perjuangan Raden Ajeng Kartini untuk meningkatkan pengakuan kualitas diri perempuan Indonesia baik di ranah publik maupun domestik, maka oleh sebab itu penulis memutuskan untuk menawarkan solusi berupa sebuah Program Pendidikan yang terintegral bagi calon legislatif perempuan dari setiap partai politik selama empat minggu untuk mengikuti program kurikulum politik Kartini sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing mereka ketika akan memperebutkan kekuasaan legislatif di Indonesia.
Sehingga diharapkan pula melalui program pendidikan ini dapat meningkatkan representasi perempuan di ranah politik. Kurikulum program politik Kartini ini akan dibentuk berdasarkan pemikiran perilaku pemilih yaitu masyarakat yang dalam menentukan wakilnya dari parlemen diklasifikasikan berdasarkan beberapa pendekatan yakni pendekatan sosiologis, psikologis, dan rasional. Pendekatan sosiologis dapat diklasifikasikan oleh beberapa faktor, pemilih dalam memilih calon legislatifnya yakni dilihat dari segi status sosial ekonomi (pendidikan, jenis pekerjaan, dan pendapatan), agama, etnis, dan wilayah tempat tinggal. Kemudian dari segi psikologis yakni identitas kepartaian seseorang, orientasi isu, dan orientasi kandidat. Sedangkan untuk pemilih rasional, mereka menekankan pada penilaian terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Dikarenakan karakteristik masyarakat di berbagai daerah berbeda maka pada umumnya berbagai pendekatan ini berkaitan erat dengan lingkup daerah pemilihan. Sehingga menurut penulis, calon legislatif perempuan harus mengetahui pemikiran perilaku pemilih ini sebelum mencalonkan diri untuk memperebutkan kursi di parlemen. Menurut saya terdapat empat materi pembelajaran pokok yang akan dibutuhkan calon legislatif perempuan untuk meningkatkan kualitas mereka sebelum bertanding dalam perebutan kursi pada kekuasaan legislatif, yakni materi pengetahuan akan kepartaian, materi pengetahuan akan keadaan sosial masyarakat daerah pemilihan, materi kemahiran akan problem solving serta materi kemahiran akan personal branding.
Dengan menggunakan cara melihat problematika yang ada terkait dengan terpenuhinya kuota pencalonan perempuan pada pemilu legislatif namun pada perolehan kursi calon legislatif perempuan justru tidak bisa memenuhi kuota yang ada sebesar 30%. Apabila dilihat dari segi sudut pandang penyebab serta kecenderungan pemilih dalam memilih calon legislatifnya. Maka penulis memberikan saran berupa kurikulum program politik kartini, yang dimana di dalam program tersebut memuat materi-materi tentang pengetahuan akan kepartaian, pengetahuan akan keadaan sosial masyarakat daerah pemilihan, kemahiran dalam problem solving, dan juga kemahiran dalam personal branding. Jadi dengan adanya program tersebut dan pengimplementasian kurikulum di setiap partai politik maka materi-materi yang telah diberikan akan sangat bermanfaat serta meningkatkan kualitas dari calon legislatif perempuan pada kontestasi pemilu yang akan diselenggarakan pada periode selanjutnya. Tentunya siapapun yang ingin mendapatkan hak kursi di parlemen. Jika terpilih nantinya harus berani menjalankan sistem yang sudah dirancang. Jangan sampai terjadi adanya mekanisme oligarki yang mengatur kekuasaan legislatifnya atau fraksinya dari belakang layar sehingga legislatif tersebut bisa sukses memperjuangkan aspirasi yang berdasarkan pada kepentingan rakyat bukan kepentingan partai politik.
(Dok by dermotimes)
Editor by Dermotimes