Mahasiswa dan Slow Living: Idealkah dimasa sekarang ini?

Dermotimes.Akhir-akhir ini, dunia seakan bergerak begitu cepat. Banyak orang dituntut untuk mengejar berbagai prestasi dan kesuksesan. Bisa dari segi materi, karir cemerlang, atau status sosial. Seolah tidak ada waktu untuk memikirkan apa yang sebenarnya ingin mereka lakukan, orang terus berlari tanpa henti untuk mengejar. Mengutip survei Harvard Business School, sekitar 94% profesional bekerja lebih dari 50 jam per minggu. Pada tahun 2016 sebuah studi oleh Badan Ekonomi Kreatif menyatakan bahwa sepertiga pekerja di industri kreatif bekerja lebih dari 48 jam per minggu. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa para pekerja tampaknya tidak punya pilihan lain. Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk bekerja dan bekerja.

Kehidupan yang serba cepat membuat kesehatan fisik dan mental rentan terhadap gangguan. Seolah-olah orang tidak memiliki kebebasan untuk memutuskan apa yang mereka suka dan ingin lakukan dan dipaksa untuk merangkul budaya yang serba cepat ini. Jika seseorang mulai merasa lelah, atau bahkan sakit, coba mundur satu langkah. Pikirkan baik-baik, apakah ini yang benar-benar mereka inginkan? Jika jawabannya tidak, mereka bisa mencoba salah satu solusi untuk mengatasinya, yaitu dengan menerapkan konsep slow living. Seperti namanya, gaya hidup slow living akan membuat mereka melambat sejenak untuk menikmati hidup dan berbagai momen yang sedang terjadi saat ini.

Secara umum, slow living merupakan respon terhadap rutinitas yang serba cepat, teratur, dan penuh dengan kesibukan tiada henti. Ketika menjalani konsep ini, orang akan mengutamakan hidup dengan seimbang dan tidak berlebihan. Dalam bukunya, “Kesederhanaan Abadi: Kehidupan Kreatif dalam Masyarakat Konsumen,” John Lane memperkenalkan analogi tentang seorang industrialis dan seorang nelayan. Nelayan, setelah menangkap semua ikan yang ia butuhkan untuk hari itu, berbaring di samping perahu sambil merokok. Industrialis mendekatinya dan bertanya kepada nelayan mengapa ia berhenti memancing. Jika ia terus memancing, ia akan memiliki lebih banyak produk untuk dijual, dan dengan uangnya ia bisa membeli perahu yang lebih besar, menggunakan peralatan yang lebih baik, menangkap lebih banyak ikan dan menghasilkan lebih banyak uang. Industrialis mengatakan bahwa jika nelayan melakukan semua hal ini, maka ia bisa duduk santai dan menikmati hidup. Nelayan menjawab bahwa ia sudah melakukan itu. Nelayan itu mendapatkan apa yang di butuhkan untuk kesejahteraannya, dan bukannya bekerja berlebihan, ia memutuskan untuk menikmati hidupnya.

Hidup mungkin tidak selalu sesederhana metafora tentang nelayan dan industrialis ini, tetapi pesannya tetap ada: bekerja untuk hidup, jangan hidup untuk bekerja. Dari cerita rakyat, anak-anak hingga tragedi Shakespeare dan Yunani, banyak karakter yang jatuh karena ambisi yang berlebihan. Sastra modern juga menampilkan tema ini. Buku Elaine Aron tahun 1996, “Orang yang Sangat Sensitif: Cara Berkembang Saat Dunia Menguasai” memandu orang-orang dengan pemrosesan yang luar biasa yang terlalu sensitif tentang cara merancang kehidupan yang lebih sesuai dengan temperamen mereka. Buku ini adalah pokok dalam psikologi modern dan mendukung konsep menjalani kehidupan yang lebih lambat dan lebih tenang.

Pada tahun 2004, “In Praise of Slow” karya Carl Honoré berfungsi sebagai katalis untuk gerakan “Slow Living”. Gerakan ini mendorong pergeseran budaya ke arah memperlambat laju kehidupan.  Hidup lambat bertentangan langsung dengan kesibukan 24/7 dari “budaya hiruk pikuk” negara kita. Sebagai mahasiswa, didorong untuk memberikan 100% di sekolah, melakukan pekerjaan paruh waktu, dan mempertahankan kehidupan sosial yang berkembang. Kehidupan lambat tidak terlalu menekankan keterlibatan dan aktivitas, sebaliknya menekankan kesejahteraan mental dan menikmati momen-momen kecil dengan santai menyeruput kopi di pagi hari, berjalan-jalan di alam, membaca di bawah sinar matahari.

Pola pikir yang lebih tenang dari gaya hidup yang lambat bermanfaat bagi banyak orang, tetapi sangat berharga bagi mahasiswa. Saat tenggelam dalam pekerjaan dan tanggung jawab, meluangkan waktu untuk hidup perlahan mungkin tampak seperti tugas lain untuk ditambahkan ke daftar tugas. Dengan magang dan IPK untuk dipertahankan, mengambil hidup dengan lambat mungkin tampak seperti mengabaikan kewajiban. Penulis berpendapat, bagaimanapun, bahwa dalam jangka panjang, berjalan lebih lambat mencegah kelelahan yang berbahaya dan meningkatkan kesehatan mental, kinerja kerja dan hubungan.

Penulis juga menyadari bahwa pola pikir ini memiliki keistimewaan, karena lebih sulit untuk menemukan saat-saat tenang jika memiliki anak, melakukan banyak pekerjaan, atau berjuang untuk membayar tagihan. Namun, apa yang penulis katakan adalah meluangkan waktu untuk menghargai hidup tidak boleh dilihat sebagai kegagalan. Padahal, slow living harus menjadi tujuan, bukan budaya hiruk-pikuk. Hidup lambat bukan hanya tentang istirahat dan relaksasi, ini tentang penghargaan terhadap dunia dan banyak hadiahnya. Gerakan ” Slow Eating “, misalnya, dimulai di Italia pada tahun 1986 sebagai reaksi terhadap rantai makanan cepat saji yang merambah makanan lokal dan tradisional. Makanan lambat tidak hanya lebih enak dan lebih bermanfaat bagi ekonomi lokal, tetapi juga lebih ramah lingkungan dan sehat. Demikian pula, memiliki pola pikir yang lebih damai memerangi kebiasaan belanja yang berlebihan dan momok mode cepat.

Pola pikir yang terburu-buru, meskipun merupakan norma bagi mahasiswa, tidak berkelanjutan. Kita harus lebih seperti nelayan daripada industrialis dan menemukan cara untuk menghargai hidup kita saat ini.

Secara umum, slow living merupakan respon terhadap rutinitas yang serba cepat, teratur, dan penuh dengan kesibukan tiada henti. Ketika menjalani konsep ini, orang akan mengutamakan hidup dengan seimbang dan tidak berlebihan. Orang yang menganut konsep ini memiliki pemahaman bahwa kesibukan dan gaya hidup serba cepat sebenarnya menyambar banyak hal. Ini meliputi waktu, kesehatan, hingga kenikmatan menjalani hidup itu sendiri. Tapi ingat, meski konsep hidup melambat, ini bukan alasan untuk bermalas-malasan dan tidak produktif. Semuanya harus tetap fokus melakukan semua yang diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi dalam skala prioritas. Dengan tidak terburu-buru diharapkan hasilnya akan lebih baik dan memuaskan.

 

 

Editor by Dermotimes.

 

One thought on “Mahasiswa dan Slow Living: Idealkah dimasa sekarang ini?

  1. Виды восприятие в психологии.
    Синонимы к слову индивидуальный.
    Определение психологии как науки о душе было дано
    в каком веке. Последствия стресса у женщин.
    Анализ зрительных раздражителей
    происходит в какой доле. Перечислите основные свойства квадрата.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *